Namaku
Kemal, lahir di kota Tegal 25 tahun yang lalu. Aku menyelesiakan kuliah
di fakultras kedokteran 3,5 tahun yang lalu, dilanjutkan dengan praktek
asisten dokter (koas) selama setahun dan kemudian mengikuti ujian
profesi dokter. Kini aku sudah resmi menyandang gelar dokter di depan
namaku dan sebagai tahap terakhir, aku kini sedang mengikuti praktek di
puskemas di daerah terpencil sebagai bentuk pengabdian sebelum mendapatkan izin praktek umum.
Aku dibesarkan di kota kelahiranku sampai SMU dan
kemudian menjutkan kuliah di Jogja. Keluargaku sebenarnya bukan keluarga
broken home, namun karena ayahku yang berpoligami jadi aku agak jarang
berinteraksi
dengan ayahku, lebih banyak dengan ibuku dan 2 orang
adikku.
Seperti kebanyakan orang sukses di kotaku, Ayah adalah
seorang pengusaha warung makan yang lebih dikenal dengan sebutan Warteg.
Sejak aku SMP, ayahku sudah punya 2 warteg di kota asalku, 4 di Jakarta
dan 2 gerai di Jogja. Berbekal kesuksesan itulah Ayah yang dulu hanya
beristrikan ibuku, mulai buka cabang di Jakarta dan Jogja. Alasannya
sederhana: butuh tempat singgah waktu memantau jalannya usaha. Pada
awalnya, aku sebagai anak sulung, menjadi anaknya yang menentang
poligami Ayah. Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SMU dan Ayah
pertama kalinya berpoligami dengan menikahi seorang gadis yang usianya
hanya terpaut 10 tahun dariku. Namun justru ibuku yang mendamaikan
perselisihanku dengan Ayah dengan alasan klasik yaitu Ayah sudah
berjanji untuk tetap membiayai hidup kami dan sebagai jaminannya, 2
warteg di Tegal secara penuh menjadi milik Ibu.
Berbekal pendapatan
dari usaha warteg itulah, aku bisa kuliah sampai menjadi dokter saat
ini, dan tentu saja ibuku sangat bangga karena aku sebagai putra
sulungnya berhasil mandiri dan menjadi contoh buat adik-adikku.
Lalu
bagaimana dengan perselisihanku dengan Ayah? Wah, sejak Ibu sudah
memaklumi Ayah, aku pun sudah tidak pernah mengungkitnya lagi.
Hubunganku dengan Ayah, bahkan dengan dua isteri muda Ayah baik-baik
saja. Bahkan Ayah menyempatkan diri hadir dalam wisudaku dulu.
Isteri
kedua ayah, yang berarti ibu tiriku, bernama Nurlela, tinggal di sebuah
perumahan di daerah Bintaro. Dari hasil pernikahan dengan Mama Lela
(begitu Ayah menyuruhku memanggilnya), Ayah dikaruniai 2 orang anak.
Setelah 5 tahun menikah dengan Nurlela, Ayah kemudian “buka cabang” lagi
di Jogja, kali ini dengan seorang janda beranak satu, bernama Windarti,
yang kupanggil dengan Mama Winda, usianya bahkan hanya terpaut 6 tahun
denganku.
Sebagai seorang lelaki, aku harus jujur untuk mengacungkan
jempol buat Ayah dalam memilih isteri muda. Kedua “gendukan”-nya,
meskipun tidak terlalu cantik, namun punya kemiripan dalam hal body,
yaitu “toge pasar”. Rupanya selera ayah mengikuti tren selera pria masa
kini yang cenderung mencari “susu” yang montok dan goyangan pantat yang
bahenol.
Dari dua ibu tiriku itu, tentu saja aku lebih akrab dengan
Mama Winda, karena selama aku kuliah di Jogja, setiap akhir bulan aku
menyempatkan bermalam di rumahnya yang juga lebih sering ditinggali
Ayah. Maklum Mama Winda adalah isteri termuda, meskipun berstatus janda.
Bagiku
sebenarnya sangat canggung memanggil Winda dengan sebutan Mama, jauh
lebih cocok kalau aku memanggilnya Mbak Winda, karena usianya memang
hanya lebih tua 6 tahun dariku. Wajahnya manis selayaknya orang Jogja,
dan yang membuatku betah bermalam di rumahnya adalah “toge pasar” yang
menjadi keunggulannya.
Suatu saat, ketika aku masih kuliah. Seperti
biasa, pada akhir pekan di minggu terakhir, aku membawa sepeda motorku
dari kost menuju rumah Ayah dan Mama Winda. Rupanya saat itu Ayah sedang
“dinas” ke Jakarta, mengunjungi Mama Nurlela, sehingga hanya ada Mama
Winda dan anaknya dari suami pertamanya yang berusia 5 tahun bernama
Yoga. Seperti biasa pula, aku membawakan cokelat buat adik tiriku itu.
Saat
datang, aku disambut oleh Yoga, sementara ibunya ternyata sedang mandi.
Karena belum tahu kalau aku datang, Mama Winda keluar kamar mandi
dengan santainya hanya berbalut handuk yang hanya “aspel” – asal tempel.
Melihat kehadiranku di ruang tengah, sontak Mama Winda kaget dan salah
tingkah.
“Eh... ada Mas Kemal..”, serunya sedikit menjerit dan
melakukan gerakan yang salah sehingga handuknya melorot hingga perut
sehingga payudaranya yang sebesar pepaya tumpah keluar.
“Glek..”, aku
menelan ludah dan menatap nanar pada ibu tiriku yang bertoket brutal
itu. Sayang sekali pemandangan indah itu hanya berlangsung sebentar
karena Mama Winda segera berlari ke kamar.
Dadaku berdegup kencang,
birahiku langsung naik ke ubun-ubun. Ingin rasanya aku ikut berlari
mengejar Mama Winda ke kamarnya, menubruknya dan meremas buah dada
pepayanya. Sayang aku belum berani melakukannya.
Aku hanya bisa
“manyun” sambil bermain dengan adik tiriku sampai akhirnya sang ibu tiri
keluar kamar. Tidak tangung-tanggung, dia membungkus tubuh montoknya
yang baru saja kulihat toket brutalnya dengan pakaian muslim, lengkap
dengan jilbabnya. Mama Winda sehari-harinya memang mengenakan jilbab.
Birahiku langsung “watering down”... layu sebelum berkembang.
Sebagai
pelampiasan, pada saat mandi aku menyempatkan diri untuk masturbasi,
kebetulan ada tumpukan pakaian dalam kotor milik Mama Winda di dalam
ember. Awalnya aku mengambil bra warna hitam dengan tulisan ukuran 36BB
yang mulai memudar. ‘Pantas besar seperti pepaya’ pikirku membayangkan
dua buah dada besar milik Mama Winda yang sempat kulihat beberapa waktu
lalu.
Sambil membayangkan buah dada Mama Winda, aku mengambil celana
dalam hitam Mama Winda dan menciuminya. Aroma khas vagina masih
tertinggal di sana, mengantarkan masturbasiku dengan sabun mandi sampai
akhirnya menyemprotkan sperma di dinding kamar mandi.
Sesudah mandi
aku menonton TV bersama Mama Winda dan adik tiriku. Kami mengobrol akrab
sampai sekitar jam 8 adik tiriku minta ditemani mamanya untuk tidur.
Sebelum menemani anaknya tidur, Mama Winda masuk kamarnya untuk bertukar
pakaian tidur baru kemudian masuk kamar anaknya.
Setelah anaknya
tidur, Mama Winda keluar kamar dengan kostum tidurnya yang sama sekali
berbeda dengan kostumnya tadi sore. Pakaian muslimnya yang tertutup
berganti dengan gaun tidur warna putih yang meskipun tidak tipis tapi
memperlihatkan bayangan lekuk tubuh montoknya, termasuk warna bra dan
celana dalamnya yang berwarna ungu. Kontan birahiku langsung naik
kembali.
“Wow... Mbak Winda cantik sekali”, pujiku tulus terhadap ibu
tiriku yang memang tampak cantik dengan gaun tidur putih itu. Rambut
panjangnya tergerai indah menghiasi wajah manisnya.
“Huss... kalau Bapakmu tahu, bisa dimarahin kamu, panggil Mbak segala”, serunya agak ketus namun tetap ramah.
“Bapak lagi ngelonin Mama Lela, mana mungkin dia marah”, pancingku.
“Ih, apa sih hebatnya si Lela itu? Aku belum pernah ketemu”, sergah Mama Winda. Nadanya mulai agak tinggi.
“Hmm...
menurut saya sih... dan Bapak pernah cerita bahwa dia suka buah dada
Mama Lela yang besar”, sadar pancinganku mengena, aku segera
melanjutkannya. Padahal tentu saja aku berbohong kalau bapak pernah
cerita, tapi kalau ukuran buah dada, mana kutahu dengan pasti. Yang
kutahu buah dada Mama Lela memang besar.
“Oh ya?... “, benar saja,
emosi Mama Winda semakin meninggi. Dadanya ditarik seakan ingin
menunjukkan padaku bahwa buah dadanya juga besar.
“Bapak kalau di
rumah Mama Lela suka lupa diri, pernah mereka ML di dapur, padahal waktu
itu ada saya”, cerita bohongku berlanjut,”mereka asyik doggy style dan
tidak sadar kalau saya melihat mereka”.
“Gila bener... pasti si Lela itu gatelan dan tidak tahu malu ya?”, sergah Mama Winda dengan emosi.
“Apanya yang gatelan Mbak?”, tanyaku.
“Ya
memeknya.... “, karena emosi, Mama Winda sudah tidak peduli omongan
jorok yang keluar dari mulutnya,”pasti sudah kendor tuh memeknya si
Lela!”
“Kalau punya Mbak pasti masih rapet ya?”, tantangku.
“Pasti
dong... saya kan baru punya anak satu”, kilahnya,”...dan saya kan
sering senam kegel, Bapakmu gak akan kuat nahan sampai 5 menit, pasti
KO”.
“Ya lawannya udah tua..., pasti Mbak menang KO terus”, aku terus
menyerang sambil menghampiri Mama Winda sehingga kami duduk berdekatan.
“Maksudmu apa Kemal?”, Mama Winda mulai mengendus hasratku. Matanya membalas tatapan birahiku pada dirinya.
“Sekali-kali Mbak harus uji coba dengan anak muda doong”, jawabku enteng sambil tersenyum.
“Welehh... makin berani kamu ya?...”, tangannya menepis tanganku yang mulai mencoba menjamah lengannya.
“Enggak berani ya Mbak?”, tantangku semakin berani,”melawan anak muda?”.
“Gendeng kamu... aku ini kan ibu tirimu”, katanya berdalih.
“Ibu tiri yang cantik dan seksi”, puji dan rayuku.
“Gombal kamu”, serunya dengan wajah agak merah pertanda rayuanku mengena.
“Mbak
Winda...”, aku terus berusaha,”coba bayangkan Bapak sedang ML sama Mama
Lela sekarang dan sementara Mbak Winda ‘nganggur’ di sini”.
“Terus?...”, pancingnya.
“Ya... saya bisa memberikan sentuhan dan kepuasan yang lebih buat Mbak daripada yang diberikan Bapak...”, kataku persuatif.
“Kamu
sudah gila Kemal”, ibu tiriku masih nyerocos, namun tangannya kini
tidak menolak ketika kupegang dan kuarahkan ke penisku yang sudah
mengeras.
“Mungkin saya memang gila Mbak, tapi Bapak lebih gila,
mungkin dia sekarang sedang nyedot susunya Mama Lela yang besar... atau
mungkin sedang jilat-jilat memeknya”, aku terus membakar Mama Winda.
“Huh... Bapakmu enggak pernah jilat memek, ngarang kamu..”, sergahnya.
“Oh
ya?... tapi dia pernah cerita kalau di hobby sekali menjilat memek Mama
Lela..”, aku terus berbohong sementara tanganku sudah aktif menarik rok
Mama Winda ke atas sehingga kini pahanya yang montok dan putih sudah
terlihat dan kubelai-belai.
“Kamu bohong...”, katanya pelan, suaranya sudah bercampur birahi.
“Ih... bener Mbak, Bapak suka cerita yang begitu pada saya sejak saya kuliah di kedokteran”, ceritaku.
“Awalnya
Bapak ingin tahu apakah klitoris Mama Lela itu normal atau tidak,
karena menurut Bapak, klitoris Mama Lela sebesar jari telunjuk”.
Tanganku semakin jauh menjamah, sampai di selangkangannya yang ditutup
celana dalam ungu. Mama Winda sedikitpun tidak memberi penolakan, bahkan
matanya semakin sayu.
“Stop Kemal, jangan ceritakan lagi si Lela sialan itu...,” pintanya,”Kalau tentang aku, Bapakmu cerita apa?”
“Eh...
maaf ya Mbak... kata Bapak, memek Mbak agak becek...”, kataku
bohong,”Pernah Bapak bertanya pada saya apakah perlu dibawa ke dokter”.
“Sialan
Bapakmu itu... waktu itu kan cuma keputihan biasa”, sergah Mama Winda.
Bagian bahwa gaun tidur putihnya sudah tersingkap semua, memperlihatkan
pahanya yang montok dan putih serta gundukan selangkangannya yang
tertutup kain segitiga ungu. Sungguh pemandangan indah, terlebih
beberapa helai pubis (jembut) yang menyeruak di pinggiran celana
dalamnya.
“Hmm... coba saya cek ya Mbak...”, kataku sembari menurunkan wajah ke selangkangannya.
“Crup...”,
kukecup mesra celana dalam ungu tepat di tengah gundukannya yang sudah
tampak sedikit basah. Tersibak aroma khas vagina Mama Winda yang semakin
membakar birahiku.
Dengan sedikit tergesa aku menyibak pinggiran
celana dalam ungu itu sehingga terlihatlah bibir surgawi Mama Winda yang
sudah basah... dikelilingi oleh pubis yang tumbuh agak liar.
“slrupp.... slrupp..”, tanpa menunggu lama aku sudah menjulurkan lidahku pada klitoris Mama Winda dan menjilatnya penuh nafsu.
Mama Winda menggelinjang dan meremas kepalaku,”Kamu...kamu bandel banget Kemal....okh... okh...”.
“Kenapa saya bandel Mbak... slruppp...”, tanyaku disela serangan oralku pada vagina Mama Winda.
“Okh...kamu...
kamu menjilat memek ibu tirimu...Okhhh....edannn... kamu apakan itilku
Kemal...??”, teriaknya ketika aku mengulum dan menyedot klitorisnya.
Kini
100% aku sudah menguasai Mama Winda. Wanita itu sudah pasrah padaku,
bahkan dia membantuku melucuti celana dalamnya sehingga aku semakin
mudah melakukan oral seks.
Sambil terus menjilat, aku memasukkan jari telunjukku ke liang vaginanya yang sudah terbuka dan basah.
“Oooohh.... edannn.... enak Kemal...”, jeritnya sambil menggelinjang, menikmati jariku yang mulai keluar masuk liang vaginanya.
Bahasa
tubuh Mama Winda semakin menggila tatkala jari tengahku ikut ‘nimbrung’
masuk liang kenikmatannya bersama jari telunjuk. Maka tak sampai 5
menit, aku berhasil membuat ibu tiriku berteriak melepas orgasmenya.
“Okh.....
edannn....aku puassss....okh.....”, tubuh Mama Winda melejat-lejat
seirama pijatan dinding vaginanya pada dua jariku yang berada di
dalamnya.
Setelah selesai menggapai orgasmenya, bahasa tubuh Mama
Winda memberi sinyal padaku untuk dipeluk. Akupun memeluk dan mencium
bibirnya dengan mesra. Dia membalas ciumanku dengan penuh semangat.
“Enak kan Mbak?”, tanyaku basa-basi.
“He’eh...”, dia mengangguk dan terus menciumiku.
“Tapi saya belum selesai periksanya lho Mbak...,” kataku manja.
“He3x... kamu benar-benar calon dokter yang bandel Kemal...,” dia terkekeh senang,”Kamu mau periksa apa lagi heh?”
“Periksa yang ini Mbak...”, kataku seraya meremas buah pepaya yang masih terbungkus gaun tidur dan bra.
“Ohh... iya tuh... sering nyeri Dok...”, candanya,”minta diremas-remas... he3x...”.
Sejenak
kemudian Mama Winda sudah melucuti gaun tidurnya dan mempersilahkanku
untuk membuka bra ungunya yang tampak tak sanggup menahan besar buah
dadanya.
“Hmmm... slrupp... “, dengan penuh nafsu aku segera
menciumi buah dada besar itu dan mengulum putingnya yang juga besar.
Warna putingnya sudah gelap menghiasi buah dadanya yang masih lumayan
kencang. ‘Pantas Bapak ketagihan’ pikirku sambil terus menikmati buah
dada impianku itu.
“Kemal....”, panggil Mama Winda mesra,”Mana kontolmu?... ayo kasih lihat ibu tirimu ini, hi3x...”.
Aku
segera menurut dan menanggalkan celana panjang dan sekaligus celana
dalamku, memperlihatkan batang penisku yang dari tadi sudah mengeras dan
mengacung ke atas.
“woww... lebih besar punya kamu Mal... daripada
punya Bapakmu”, puji Mama Winda seraya menggenggam penisku. Sejenak
kemudian ibu tiriku sudah mengemut penisku penuh nafsu.
“Weleh.... udah kedut-kedut kontolnya... minta memek ya?”candanya,” Sini... masuk memek Mama...”
Mama
Winda mengangkang, membuka pahanya lebar-lebar di sofa tengah, membuka
jalan penisku memasuki liang surgawinya yang sudah becek. Setelah
penisku melakukan penetrasi, kedua kakinya dirapatkan dan diangkat
sehingga liang vaginanya terasa sempit, membuat penisku semakin ‘betah’
keluar masuk.
Seperti promosinya di awal, Mama Winda mengerahkan
kemampuannya melakukan kontraksi dinding vagina (kegel) sehingga penisku
terasa terjepit dan terhisap, namun seperti sudah kuduga, aku bukan
tipe yang mudah dikalahkan. Aku bahkan balik menyerang dengan mengusap
dan memijit klitorisnya sambil terus memompa vaginanya.
“Okh... kamu
sudah ahli ya Kemal?.... kamu sering ngentot ya...?”, Mama Winda mulai
mengelinjang-gelinjang lagi, menikmati permainan penis dan pijatan pada
klitorisnya. Semakin lama aku rasakan dinding-dinding vaginanya semakin
mengeras pertanda dia sudah dengan dekat orgasme keduanya. Aku semakin
mempercepat kocokan penisku pada vaginanya, berupaya meraih orgasme
bersamaan.
“Mbak... saya semprot di dalam ya?..” tanyaku basa-basi.
“Semprot
Kemal...okh... semprot aja yang banyak...okh....” Mama Winda terus
mendesah-desah, wajahnya semakin mesum. Akhirnya dia kembali berteriak.
“Okhhh.....
ayo.... okh.... semprot Kemal... semprot memek Mama....”, jeritan
jorok, wajah mesumnya dan sedotan vaginanya membuatku juga tidak tahan
lagi.
“Yesss.....yess....”, akupun menjerit kecil menikmati orgasmeku
dengan semprotan mani yang menurutku cukup banyak ke dalam rahim Mama
Winda, ibu tiriku.
Orgasme yang spektakuler itu berlangsung hampir menit dan disudahi lagi dengan pelukan dan ciuman mesra.
“Terima kasih Kemal...,” katanya mesra,”Enak banget, hi3x....”
“Sama-sama Mbak, nanti saya kasih obat anti hamil...”, jawabku sambil melihat lelehan maniku di vaginanya.
“Hi3x...
enggak apa lagi... tapi peju kami memang banyak banget nihhh...hi3x...”
Mama Winda terkekeh girang melihat lelehan mani putihku di vaginanya.
“Kapan-kapan pakai kondom ya.... mahasiswa kedokteran kok enggak siap kondom, hi3x....” candanya.
“Yaa... saya kan alim Mbak... he3x...”
“Ha3x.... bohong banget, kamu jago gitu... pasti udah sering ngentot ya?...”, tanyanya penuh keingintahuan.
“Pernah
sih sekali dua kali... waktu main di Jakarta...” kataku jujur sambil
mengingat PSK di panti pijat yang pernah kudatangi di Jakarta.
“Jakarta?...
heeee.... jangan2x... kamu.... main sama Lela sialan itu, iya???” sorot
matanya berubah, agak emosi,”pantes kamu cerita buah dada Lela besar,
klitorisnya juga besar... jangan2x kamu sudah main sama Lela juga
ya?....”
“Enggak Mbak.... bukan sama Mama Lela... sumpah!” seruku berkilah.
“Awas kamu kalau main sama Lela...” serunya dengan nada cemburu. Wajahnya yang mesum tampak manja.
“Saya janji tidak akan main sama Mama Lela kalau Mbak rutin kasih jatah saya...he3x....”, pintaku manja.
Mama Winda memeluk dan menciumku mesra,”Baik... kalau Bapak enggak ada, aku SMS aku ya....”
“Siip... saya bawa kondom deh...he3x....” kataku girang.
Kami
bermesraan sampai akhirnya “on” kembali dan melanjutkan satu ronde
pertempuran sebelum pergi tidur. Itu adalah pengalaman pertamaku dengan
ibu tiriku, dan tentu saja bukan yang terakhir. Setiap ada waktu, Mama
Winda dengan semangat mengirim SMS dan aku segera datang memenuhi hasrat
binal ibu tiriku. Bahkan saking ‘ngebetnya’, pernah Mama Winda mengajak
aku bertemu di luar rumah karena ada Bapak di rumah. Bagaimana
kisahnya? Nantikan edisi berikutnya. Petualanganku juga tak berhenti
pada Mama Winda, karena aku masih punya satu ibu tiri di Jakarta, Mama
Lela, yang juga tak kalah montok dengan Mama Winda.
THREAD POPULER
- Pembesar Penis (15)
- Cerita Sex (6)
- Alat Terapi Pembesar Penis (1)
- CARA PEMESANAN PEMBESAR PENIS VIMAX ORIGINAL (1)
- CIRI CIRI PERBEDAAN VIMAX ASLI DAN PALSU (1)
- Cara Melacak Kiriman (1)
- PERCAYAKAN KAMI (1)
- Pembesar Payudara (1)
- Pertanyaan Seputar Pembesar Penis Vimax (1)
- Testimoni konsumen (1)
- obat kuat kejantanan (1)
Jumat, 09 Januari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar